Thursday, November 20, 2014

Mata sang malam,
mulai bengis
Aku lunglai pasrah
Di keheningan
yang kian menggigit mataku.
Merah
Layu
Menghadap bumi
Hingga akhirnya,
berintim dengan peri tidur.
MENANTI DI KETIDAK PASTIAN


Pernahkah kau dengar nyanyian duka sang pengembara asmaradana yang hatinya lara di sayat prahara
Dan
Bisakah kau diam bungkam disaat kelam menyulut sebatang lilin diantara sejumput ilalang kering terbakar habis hanguskan pilar kesetiaan
Terus
Sanggupkah kau melangkah ketika terhimpit batu sebesar gajah mencekik dan merejam seluruh darah
Sesaat
Pasrah diketidak pastian
lara di keheningan gerimis malam nan meruam kaku disudut penantian
Andai saja kau tau besarnya cinta
Andai kau sadar luasnya kasih sayang
Andai kau mengerti bahwa hidup itu hakiki
Takkan mungkin roda dunia berdebu karena tipuan rayumu.
Takkan ada telaga airmata menganak sungai disetiap sendi kerlinganmu
Kau indah bak pelangi senja ditepian telaga
tapi tak punya hati dan rasa
Yaahh rasa yang membuat terpuruknya beribu harapan yang telah kau sematkan di setiap jiwa termangsa
ah...... engkau gadis kecil pelengkap mimpi
engkau datang bukan saja menawarkan tarian dan pesona jiwa
tapi engkau menggiring jiwa kelanaku untuk berlabuh dalam hening semadi
dan aku memandangmu dalam riak-riak kerinduan yang menggemaskan
engkau tengah meniupkan napas iman untuk mengisi atmaku yang kosong
untuk sementara aku cuma mau diam
mengartikan isyarat cinta dan nyanyian jiwa di batas pantai
karena semua langit yang kutatap selalu menyimpan kalimat teramat bijak
dalam pengembaraan pikiran dan kesejatian hidup
aku harus belajar untuk larut bersama riak air dan laju angin
menyatu dan mengikat kesetiaan pada gelombang samudera raya
untuk kularungkan segala nestapa dan karma hitam pekat.
aku kembali mengawali perjalan itu bersama para penabuh gamelan
memberi dan mengisi irama bagi para pencari kepastian
agar langkah kita tidak terbatas pada jalan dan kebuntuan
sedang di depan rumah telah kupasang piranti iman
untuk aku satukan dalam sujud dan sungkeman suci.